Oleh: Rasid Rachman
Usia penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa rakyat, dan bahasa sesehari di republik ini hampir mendekati satu abad. Dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di sekitarnya, semisal Cina, Jepang, Thailand, dan Melayu, bahasa Indonesia tergolong bahasa muda. Oleh karena muda, maka wajarlah apabila susunan bahasa Indonesia masih berubah-ubah. Beberapa pendapat menyatakan bahwa seringnya perubahan tersebut mengindikasikan kelabilan, namun penulis sendiri cenderung mengatakan hal tersebut sebagai fleksibilitas bahasa Indonesia. Mungkin pemakainya memang labil, tetapi bahasanya sendiri fleksibel.
Sangat jelas pembuktiannya bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang fleksibel. Kalimat baku, semisal: “Badu membeli sekilo jeruk di toko swalayan tadi siang,” dapat diucapkan dengan berbagai bentuk kalimat tak baku, dan tetap dapat dimengerti, semisal: “Di toko swalayan tadi siang Badu membeli jeruk sekilo.” Bahkan kalau diucapkan “Beli jeruk di toko swalayan sekilo, Badu tadi siang” pun, orang masih mengerti, dan tidak menjadi masalah. Sekalipun “tadi siang” ditukar menjadi “siang tadi”, masih dapat pula dimengerti.
Hal perubahan susunan kalimat tersebut: dari S-P-O-K menjadi K-S-P-O atau P-O-K-S-K, tak dapat dilakukan terhadap bahasa-bahasa Eropa yang sangat terikat pada struktur baku. Jika tidak tetap pada struktur bahasa baku, maka tidak ada orang yang dapat mengerti perkataan anda. Penulis mempunyai pengalaman bercakap-cakap dengan dua orang asing di sebuah kota di Jawa Tengah. Salah seorang asing tersebut – dari Eropa – fasih berbahasa Indonesia, dan yang seorang lain – dari Amerika – masih dalam tingkat belajar. Si Amerika yang masih dalam tingkat belajar bahasa Indonesia tersebut bercakap-cakap dengan penulis dalam bahasa Inggris. Sebenarnya waktu itu penulis sendiri lebih suka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dia “memaksa” penulis berbahasa Inggris. Kepada orang-orang Indonesia yang lain pun, dia berbahasa Inggris. Anehnya, kepada si Eropa yang fasih berbahasa Indonesia tersebut (mereka saling berbeda bangsa dan bahasa ibu) dia bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris! Heran campur mangkel (bukankah kalau mau belajar bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, penulis jauh lebih fasih ketimbang si Eropa itu?), penulis mencari tahu alasannya. Rupanya, bukan karena penulis tidak fasih berbahasa Indonesia yang menjadi pokok alasannya, melainkan karena terlalu “fleksibel”nya bahasa Indonesia orang Indonesia, sehingga dia merasakan sulitnya berbahasa Indonesia dengan orang Indonesia. Dengan si Eropa, dia dapat memahami bahasa Indonesia, sebab keduanya menggunakan struktur bahasa baku.
Pada satu pihak, fleksibilitas tersebut merupakan salah satu keindahan bahasa Indonesia. Bahkan berbahasa Indonesia dengan bunga-bunganya dan gayanya pun dapat menjadi daya tarik tersendiri. Pengaruh bahasa kesusasteraan dalam bahasa Indonesia begitu kuat dalam bahasa sesehari.
Namun pada pihak lain, fleksibilitas tersebut bukan tanpa masalah. Banyak orang kemudian tidak merasa perlu memperhatikan bentuk-bentuk baku dalam berbahasa Indonesia, sebab pikirnya: “Tokh orang lain dapat mengerti apa yang saya bicarakan,” sekalipun susunannya sangat ngawur menurut kaidah. Tidak mengherankan apabila orang memandang enteng dan rendah bahasa Indonesia. Oleh karena begitu “mudahnya” bahasa Indonesia, menyebabkan orang cenderung tidak berhati-hati dalam bercakap-cakap. Selain pelajaran sejarah, rasanya pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata ajar yang sangat tidak disukai oleh kebanyakan siswa sekolah. Oleh karena fleksibelnya, banyak orang Indonesia tidak bersikap teliti sehingga mengganggap bahwa telor hanya kesalahan pengucapan dari telur. Yang benar adalah telor berbeda sama sekali dengan telur, ubi berbeda sama sekali dengan obi, dan batak berbeda sama sekali dengan Batak, bang berbeda sama sekali dengan bank; sebagaimana khas berbeda dengan kas. Lomba memasak dan tanding memasak jelas berbeda, namun masih sering orang tidak memperhatikan perbedaan tersebut.
Sejauh masih di dalam aktivitas percakapan, bahasa Indonesia nyaris tidak bermasalah. Namun, hidup manusia tidak selamanya berada dalam “lingkungan” bercakap-cakap. Akibatnya, dalam hal tulis menulis, orang Indonesia sangat miskin dalam penguasaan bahasanya sendiri. Jangankan tulisan dalam buku atau naskah-naskah tebal, bahkan menulis dalam spanduk, undangan, atau vandel sekalipun (yang hanya menggunakan 10-20 kata) dijumpai begitu banyak kesalahan penulisan menurut kaidah bahasa Indonesia. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, sebab mengakibatkan pembaca tidak mengerti atau salah mengerti. Terlebih lagi bahkan masih banyak masyakarat intelektual, pejabat pemerintah, public figure, kaum profesional, sarjana, bahkan penyiar televisi dan radio yang belum mampu menunjukkan penguasaannya akan bahasa Indonesia. Banyak karya tulis dan bahan kuliah yang menggunakan bahasa amburadul. Banyak pidato, wawancara, dan percakapan pembawa acara yang justru merusak bahasa Indonesia. Beberapa pihak dari kalangan eksekutif merasa lebih “terhormat” jika menggunakan bahasa Indonesia berlepotan dengan bahasa asing ketimbang berbahasa Indonesia secara benar dan murni. Sekadar contoh, rasanya hanya manusia langka yang mengucapkan teve ketimbang tivi untuk mengucapkan TVRI, MetroTV, TV7, GlobalTV, nonton TV, dan sebagainya. Hanya sedikit yang menyadari adanya perbedaan arti antara sanksi (ganjaran, akibat) dan sangsi (ragu-ragu), khidmat (khusyuk) dan hikmat (bijak), amin dan amen. Masih sering orang menulis M.P.R., R.R.I., atau R.I. untuk MPR, RRI, atau RI.
Campur aduknya penggunaan bahasa tersebut meluas (atau bermuara) juga pada pengenalan akan bahasa Indonesia yang baku dan benar. Orang Indonesia sendiri tidak begitu mengenal kosakata bahasa Indonesia. Pemborosan kata sering digunakan yang justru mengaburkan arti, semisal pasangan ganda dari seharusnya pemain ganda, anak remaja dari seharusnya remaja, semua buku-buku dari seharusnya semua buku, atau kota metropolitan dari seharusnya ibu kota (mater = ibu; polis = kota) atau metropolitan saja. Ada juga pemborosan kata yang paling konyol tetapi banyak orang menggunakannya akhir-akhir ini, semisal: mereka-mereka, kami-kami, kita-kita, padahal cukup mengatakan mereka, kami, atau kita. Parahnya, yang biasa “memperkenalkan” bahasa rusak tersebut adalah public figure atau tokoh masyarakat yang ucapannya bukan haya dianut tetapi juga ditiru seratus persen.
Tulisan atau pengucapan kata-kata secara keliru, semisal: tidak acuh, merubah, dan rubah, masih lazim terjadi di kehidupan sesehari untuk mengatakan acuh, mengubah, ubah. Dua kata bertentangan sering digunakan, semisal ”Hingga kini, dia masih belum menyelesaikan skripsinya.” Bagaimana mungkin kata masih dan belum berdampingan. Ada kalanya, kita juga dibingungkan sendiri dengan kata-kata: kualitas dan kwalitas, sualayan dan swalayan, jadual dan jadwal. Kata-kata tersebut bukan hafalan, melainkan harus dimengerti berdasarkan pemilahan suku-suku kata. Suku kata adalah salah satu yang khas dalam bahasa Indonesia. Bukan wang, mulya, dan iang, melainkan uang, mulia, dan yang, sebab pemilahannya adalah u-ang untuk uang, mu-li-a untuk mulia, dan bukan i-ang untuk yang. Demikian pula ku-a-li-tas bukan kwa-li-tas, swa-la-yan bukan su-a-la-yan, jad-wal bukan ja-du-al, kelapa pu-an bukan kelapa pwan, per-em-pu-an bukan per-em-pwan. Di pinggir jalan, masih lazim kita jumpai tulisan ganti oil, maksudnya adalah pasti ganti oli. Namun di surat kabar dan media eletronik pun masih digunakan secara rancu kata-kata jam, waktu, dan pukul. Perubahan jam tayang adalah berbeda arti dengan perubahan waktu tayang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai rancunya masyarakat menyebut foto, potret, dan kamera, atau masa dan massa.
Ketidakmampuan menulis menurut kaidah bahasa Indonesia bukan hanya menyangkut hal penulisan kalimat, tetapi juga penggunaan tanda baca, termasuk penempatan tanda titik, koma, titik-koma, imbuhan, dan sebagainya. Pemakaian istilah “tidak mampu” bagi orang Indonesia yang tidak menguasai bahasa Indonesia mungkin kurang tepat digunakan di sini. Jika mempertimbangkan waktu mempelajari bahasa Indonesia di sekolah, maka akan dijumpai masa belajar yang cukup lama. Sementara durasi orang asing belajar berbahasa Indonesia adalah sekitar 6 – 12 bulan, orang Indonesia mempelajari bahasanya sendiri sejak di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, bahkan hingga Perguruan Tinggi.
Mengapa bahasa Indonesia tidak populer bagi orang Indonesia sendiri? Mungkin orang Indonesia adalah orang yang malu menggunakan bahasanya sendiri. Bukan hanya malu bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia di negeri asing, tetapi juga malu dalam hal memperkenalkan bahasa Indonesia di negeri-negeri asing. Berbeda dengan banyak negara lainnya, bahkan dibanding dengan negeri-negeri kecil, pemerintah Indonesia ketinggalan dalam mendirikan pusat kebudayaan dan bahasa Indonesia di luar negeri. Ironisnya, setiap perwakilan Indonesia di luar negeri memiliki Atase Kebudayaan, dan sering mengadakan pergelaran budaya dan seni.
Di samping itu, bukan rahasia umum lagi bahwa orang Indonesia seringkali tidak menyukai bahasanya sendiri. Pengaruh bahasa daerah dan bahasa suku yang begitu banyak dan beragam di Indonesia menyebabkan orang mempertimbangkan beberapa kali sebelum mempelajari satu bahasa lagi, yakni bahasa Indonesia. Padahal banyaknya dan beragamnya bahasa suku dapat merupakan salah satu sumber konflik. Oleh karena itu bahasa-bahasa rakyat didamaikan dengan lingua franca, satu bahasa untuk berkomunikasi. Ironisnya, bahasa pemersatu itu justru tidak dikenal, dikuasai, dan disukai oleh pemakainya. Dalam percakapan sesehari sering dijumpai orang-orang berputar-putar membahas persoalan: “apa yang dimaksud olehnya”, padahal semuanya menggunakan bahasa Indonesia. Slogan kampanye untuk Pemilihan Umum yang adil, bebas dan rahasia saja dapat menimbulkan konflik karena “adil, bebas dan rahasia” ditafsirkan secara tidak baku. Bahkan istilah-istilah bebas dipahami dengan liar, reformasi dipahami dengan bebas, merdeka dipahami dengan menguasai, disiplin dipahami dengan keterikatan. Instruksi dan penjelasan dalam bahasa Indonesia seringkali harus dijelaskan ulang dan berulang-ulang karena pendengar belum memahami kalimatnya. Di dalam banyak penulisan pun, pembaca masih sering dibuat tidak mengerti dengan tulisan yang berkepanjangan, kesalahan dalam memberi tanda baca, kalimat beranak-cucu kalimat sehingga mengaburkan pokok pikiran yang hendak disampaikan. Tak mengherankan bahwa konflik sosial membesar oleh karena persoalan pembahasaan yang tidak dapat saling dimengerti sehingga disalahartikan oleh lawan bicara. Menyalahartikan kata terlihat dengan penggunaan kata penjarahan mengganti pencurian atau perampokan massal, mengadili mengganti mencari kemenangan di pengadilan, haram mengganti najis.
Rupanya kekeliruan pembahasaan menjadi persoalan penting di republik ini. Namun karena tidak dipermasalahkan, sehingga tidak ada perbaikan. Media tidak memberi ketegasan tentang penggunaan arti kata Fraksi (factio = memecahkan) di MPR, mengapa bukan Faksi (factio = partai, pertalian). Juga mengapa menulis paguyuban dan pagelaran, padahal seharusnya peguyuban dan pergelaran; tidak ada awalan pa- dalam bahasa Indonesia. Mengapa ditulis bus – bukan bis – padahal menyebutnya bis; bandingkan dengan orang Malaysia yang menulis minit untuk minute dan polis untuk police sesuai pengucapannya. Banyak tulisan resmi masih menulis penasehat tetapi bukan penasihat, hakekat tetapi bukan hakikat. Karena kebiasaan, semua orang merasa tidak mempunyai masalah menyebut tukang pos, sebab diterjemahkan dari bahasa Inggris postman, padahal seharusnya tukang giro (gyro = berkeliling, berputar), menyebut Senin sebagai hari pertama ketimbang hari kedua (sebab Minggu atau Ahad-lah hari pertama), Rumah Sakit ketimbang Rumah Rawat yang lebih dekat dengan pengertian hospital (hospitality = keramahan, hal menerima tamu), sekolahan dan jalanan ketimbang mengucapkan sekolah dan jalan, mengkilap ketimbang mengilap.
Seorang pakar bahasa Indonesia mensinyalir bahwa ada kemungkinan suatu saat timbul ketegasan arti antara seluruh, semua, dan segala, dapat dan bisa, secara dan dengan, usia dan umur, awal dan mula. Saat ini media mulai memilah antara tukang dan petugas, sehingga suatu saat bukan lagi tukang pos atau tukang giro, melainkan petugas giro. Sekarang saja dalam percakapan sesehari orang bingung dalam menggunakan ubin dan lantai, dinding dan tembok, atap dan genteng. Dalam penulisan, kamus tidak menginformasikan dengan tegas ejaan untuk kata-kata: praktek atau praktik, objektif atau obyektif. Dalam penulisan sesehari, masyarakat tetap menggunakan secara rancu kata-kata sistem dan sistim, konkret, konkrit, dan kongkrit, apotik dan apotek, Prancis dan Perancis, zaman dan jaman, azas dan asas, berkilap dan berkilat, musium dan museum, copilot atau kopilot, sebab ada koordinasi bukan coordinasi. Mengapa digunakan fundamental bukan fondamen, padahal ada kata fondasi yang akar katanya mempunyai arti yang sama, yakni dasar.
Kalangan agamawan belum sepakat dengan pemakaian kata-kata mujizat atau mukjizat, Paska atau Paskah, Adven atau Advent, mesjid atau masjid, Jumat atau Jum’at, doa atau do’a, setan atau syaitan, amin atau amien, surga atau sorga, jemaat atau jemaah. Kata-kata tersebut merupakan contoh adanya perbedaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dan praktek sesehari di masyarakat.
Lantas, bagaimana solusi terhadap masalah yang memprihatinkan tersebut? Tentu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa harus lebih mempopulerkan kosakata bahasa Indonesia yang baku. Sosialisasi bukan hanya soal frekuensi publikasi, tetapi juga soal metode yang lebih merakyat. Muara dari kerja keras lembaga tersebut – salah satunya – adalah memandang pentingnya keberadaan lembaga tersebut di tanah air ini. Sehingga, setiap perusahaan, organisasi sosial, pedagang, dan tim kerja apa pun selalu memanfaatkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk menanyakan kosakata yang belum dikenal padanannya dalam bahasa Indonesia. Timbal baliknya, lembaga ini pun lebih proaktif mensosialisasikan padanan kata-kata, semisal: tracking, fun rafting, climbing, diving, master of ceremony (MC), door prize, miss universe, time zone, dsb.
Namun, urusan bahasa Indonesia bukan melulu urusan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bahasa Indonesia adalah urusan semua orang Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa pandangan masyarakat terhadap pendidikan bahasa adalah rendah. Jarang orangtua menganjurkan anaknya menempuhkan jurusan bahasa, apalagi di tingkat menengah. Banyak pengajar yang tidak mengindahkan penerapan bahasa Indonesia untuk bidang ampunya, dengan alasan “Ah, bahasa Indonesia adalah urusan guru bahasa Indonesia, bukan urusan guru kimia, matematika, sejarah dan pendidikan agama.” Padahal banyak orang tidak tahu bahwa kerapian kerangka berpikir logis, sebagaimana diupayakan dalam matematika, berawal dari pembahasan. Logis tidaknya kerangka berpikir dapat dilihat dari rapi tidaknya atau sistematis tidaknya seseorang berbahasa. Demikian pula di kehidupan sesehari, bahasa menandakan siapa seseorang itu. Jadi, solusinya ada pada orang Indonesia sendiri untuk memiliki dan menghargai bahasanya sendiri. Semua pihak wajib menyadari bahwa mencintai bahasa Indonesia adalah tanggungjawab bersama.
Mencintai bahasa Indonesia dimulai dari mencintai Indonesia sendiri. Orangtua memberikan nama anak-anaknya dengan nama Indonesia, bukan jiplakan utuh dari bahasa asing sebagaimana menjadi kecenderungan masyarakat di kota-kota dewasa ini. Apalagi, di beberapa daerah nama keluarga seorang anak ditiadakan dalam pencantuman nama resmi, maka jadilah Robert dari keluarga Sihotang, atau Sherly dari keluarga Lawalata menjadi Robert dan Sherly saja; Indonesia tidak, Barat pun tidak. Padahal ada begitu banyak nama Indonesia yang terdengar anggun dan tidak terikat pada nama suku, semisal: Satria, Wati, Budiman, Manda, dsb. •
Jumat, Oktober 02, 2009
ORANG INDONESIA DAN BAHASA INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar